Eksistensi
pesantren merupakan lembaga tafaqquh fî addîn yang asli Indonesia dan lebih tua dari Indonesia itu sendiri. Sebagai
lembaga pendidikan asli Indonesia,
pesantren merupakan lembaga pendidikan kultural-tradisional yang unik, eksotik
dan memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan lembaga pendidikan pada
umumnya. Sebagai lembaga tafaqquh fî addîn, pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang berperan besar dalam mencetak anak didiknya memiliki kedalaman
keilmuan keagamaan.
Pesantren tidak hanya berperan mencerdaskan intelektualitas
anak didiknya semata (ta'lîm), melainkan juga concern dalam mencerdaskan
aspek spiritualitas dan moralitas untuk membentuk kepribadian santri yang
shaleh (tarbiyyah). Hanya pesantrenlah yang paling layak disebut sebagai
lembaga pendidikan yang sejak dini mempersiapkan anak didiknya tampil menjadi
figur-figur ideal yang tidak hanya 'pintar' melainkan sekaligus 'benar' dalam
kehidupan sosial masyarakat.
Khazanah
keilmuan pesantren sangatlah kaya dan kompleks, utamanya di bidang keagamaan. Mulai
dari disiplin ilmu alat (nahwu, sharaf dan balaghah), akidah (tauhid), akhlak
(tasawuf), syariah (fiqh, qaidah fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits), tarikh
(sejarah), thib (pengobatan), dll. Kompleksitas khazanah keilmuan keagamaan ini,
yang didukung dengan lingkungan pesantren yang sengaja didesain secara integral
untuk kepentingan pendidikan, menjadikan pesantren sebagai basis pendidikan
Islam di Indonesia yang sulit dijumpai di lembaga pendidikan formal manapun.
Melihat
kekayaan khazanah keilmuan keagamaan yang diajarkan di pesantren demikian,
kiranya sangat logis jika pesantrenlah yang sesungguhnya merupakan pendidikan
Islam dengan potensi keilmuan paling memadai dan bergengsi (a'lâ) di
tengah kontestasi dunia pendidikan modern sekalipun. Dan tidak berlebihan jika
kemudian dinyatakan bahwa santri merupakan akademisi yang sebenarnya paling
absah berbicara hukum Islam, bukan yang lain.
Maka
sangat ironis dan tak tahu diri apabila ada santri yang merasa tidak percaya
diri, minder, atau bahkan malu ketika harus menyandang predikat sebagai kang
santri. Dengan menyadari akan kekayaan khazanah keilmuan keagamaan
pesantren, sudah semestinya santri merasa bangga (baca: bersyukur) dan percaya diri
ditakdirkan menjadi santri di pesantren. Karena hanya pendidikan pesantrenlah
yang paling bergengsi dan potensial untuk memungkinkan meraih prestasi keilmuan
keagamaan yang benar-benar qualified. Dalam konteks untuk menepis
perasaan ketidak-PD-an, santri perlu menyadari akan keberadaannya yang luhur
itu. Kesadaran ini penting, agar santri tidak minder dan memiliki ke-PD-an, semangat
dan gairah (himmah) besar dalam mengkaji kekayaan khazanah keilmuan
keagamaan di pesantren secara mendalam. Hal ini selaras dengan penegasan Allah
swt. dalam firmanNya:
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأَعْلَوْنَ
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
|
Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman. (QS. Ali Imran: 139)
|
Setelah santri menyadari akan
keberadaannya yang luhur, dan setelah memiliki kepercayaan diri menjadi kang
santri, serta memiliki himmah besar untuk mengkaji secara mendalam
kekayaan khazanah keilmuan keagamaan di pesantren, persoalan selanjutnya ialah:
bagaimana agar kekayaan khazanah keilmuan keagamaan itu dapat dikaji dan
dipelajari secara mendalam oleh para santri? Dan bagaimana pula metode belajar
yang efektif untuk memberdayakan potensi intelektualitas para santri?
Dari
sini kita bisa mafhum, betapa belajar dengan metode diskusi interaktif (musyawarah)
merupakan jawaban paling tepat untuk beberapa tanda tanya itu. Bagaimana tidak,
suasana belajar dalam musyawarah sangat berbeda dengan suasana belajar dalam
sekolah, dalam sorogan, ataupun dalam mengaji bandongan.
Sistem musyawarah bersifat dialogis-emansipatoris,
yakni sistem yang menuntut anak didik menjadi subyek dalam belajar dan terlibat
aktif serta bebas dalam berpikir, menganalisis, menyampaikan pendapat, berargumentasi
dan berpolemik. Sedangkan sistem sekolah, sorogan atau bandongan,
anak didik berperan menjadi obyek dan hanya bersifat monologis, yakni
hanya sepihak yang aktif sementara pihak lain bersifat pasif.
Belajar dengan sistem
diskusi atau musyawarah sangat efektif untuk melatih olah pikir secara kritis
dan mengasah analisis secara tajam dan cermat. Sehingga santri yang telah
terbentuk karakter pemikiran dan daya analitisnya melalui forum-forum diskusi
atau musyawarah, akan memiliki kualitas pemahaman keilmuan yang akurat dan
valid secara ilmiah. Dan kualitas seperti ini akan sulit diperoleh tanpa
melalui proses panjang pembentukan karakter pemikiran dan daya analitis dalam
aktifitas musyawarah atau diskusi-diskusi interaktif. Di sinilah arti
pentingnya menjadi aktifis musyawarah yang istiqamah.
Persoalan selanjutnya
yang tak kalah penting ialah, bagaimana kiat dan tips untuk merangsang peserta musyawarah
atau diskusi agar memiliki agresifitas dalam berdialog sehingga menciptakan
suasana musyawarah yang hidup dan berkualitas?
MENUMBUHKAN
AGRESIFITAS BERMUSYAWARAH
Agresifitas peserta
musyawarah dalam berdialog sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai dan
menciptakan suasana diskusi menjadi hidup dan tidak vakum. Tanpa ada unsur
agresifitas ini, forum musyawarah hanya akan menjadi pertemuan yang sangat
menjenuhkan dan membosankan. Ada
beberapa tips dan kiat untuk merangsang dan menumbuhkan agresifitas peserta dalam
bermusyawarah.
1.
Cita-cita Luhur (Ambisius)
Tinggi-rendahnya cita-cita atau
obsesi seseorang, akan mencerminkan dan mempengaruhi gigih-tidaknya usaha atau
perjuangan yang dilakukan. Seorang yang bekerja dengan obsesi atau cita-cita bisa
membeli mobil, pasti akan berusaha keras jauh lebih gigih dibanding seorang yang
bekerja hanya dengan obsesi bisa membeli sepeda motor.
Begitulah, seorang yang memiliki
cita-cita luhur dalam ilmu, pasti akan bersungguh-sungguh dalam berusaha dan
berjuang meraihnya. Semua kesempatan dan media yang mendukung kesuksesan
cita-citanya (seperti musyawarah), akan senantiasa ia jalani dengan sepenuh
hati. Hal ini akan berbeda dengan seorang yang memiliki cita-cita rendah. Kesempatan
emas di depan matanya, mungkin akan dipandang sebelah mata, dilakukan dengan
setengah hati dan bahkan disia-siakan begitu saja. Bagi orang seperti ini,
musyawarah yang sangat besar manfaatnya, akan ia ikuti bukan sebagai 'kebutuhan'
(media) meraih cita-cita, melainkan sebagai 'kewajiban' yang boleh jadi sekedar
untuk menghindari ta'ziran. Sehingga lumrah jika yang menjadi prinsip
musyawarah orang seperti ini adalah prinsip 3D, yakni Datang-Duduk-Diam.
Maka, cita-cita luhur (ambisius)
peserta musyawarah akan mendorong sikap agresifitas dalam bermusyawarah. Orang
yang memiliki cita-cita luhur sangat dicintai oleh Allah. Nabi saw. bersabda:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الأُمُورِ وأَشْرَافَهَا
وَيَكْرَهُ سَفَاسِفَهَ
|
Sesungguhnya
Allah mencintai perkara-perkara yang luhur dan mulia, dan membenci
perkara-perkara yang rendah. (HR. Aththabrani)
|
2.
Memiliki TO (Target Operasi)
Agar
peserta musyawarah agresif berdialog, setiap peserta harus memiliki TO jelas yang
ingin didapatkan (istifâdah) dari forum musyawarah. Target ini bersifat
kondisional dan relatif sesuai tingkat kemampuan peserta. Misalnya, harus
berbicara dengan target: sekedar bisa bertanya, berpendapat atau dengan target
harus bisa menjawab segala kemungkinan isykâl yang mencuat dalam forum,
atau bahkan dengan target sanggup berdebat dengan retorika yang argumentatif.
Dengan
TO yang jelas seperti ini, setiap peserta akan termotivasi untuk berbicara (bertanya,
berpendapat, menjawab atau berdebat) sesuai dengan tingkat dan kepentingan
masing-masing, sehingga tercipta suasana musyawarah yang agresif dan
komunikatif.
TO seperti ini, paling
tidak akan bisa menjadi latihan untuk bisa berbicara dan beretorika. Hal ini
sangat besar manfaatnya. Sebab, selama ini terdapat kesan bahwa santri itu
tidak memiliki kepiawian berbicara dan beretorika meskipun sebenarnya kaya akan
referensi dan dalil. Kesan ini berbanding lurus dengan kepiawian mahasiswa yang
relatif vokal dan komunikatif kendati sebenarnya minim rujukan atau dalil.
3.
Semangat Bersaing (Kompetitif)
Forum
diskusi atau musyawarah seharusnya dipahami sebagai kawah candradimuka yang
menjadi tempat menempa daya analitis dan membentuk karakter intelektualitas.
Atau, dipahami sebagai medan
pergulatan pemikiran, yang akan menentukan nasib prestasi intelektualnya di
masa depan.
Dengan
pemahaman demikian, maka akan memicu terjadinya semangat kompetisi dan persaingan
sportif dalam forum musyawarah, berlomba-lomba untuk tampil menjadi yang
terbaik atau sang maestro. Allah swt. berfirman:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
|
Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (QS.
Alma'idah: 48)
|
Kesuksesan yang dihasilkan dari musyawarah,
kecerdasan inteligensi tidak menjadi faktor utama, melainkan lebih karena
faktor istiqamahnya. Sudah tak terhitung buktinya, orang-orang yang tingkat
inteligensinya biasa namun memiliki prestasi keilmuan yang jauh lebih gemilang
dari orang yang cerdas namun tidak istiqamah bermusyawarah. Maka benarlah sabda
Nabi saw.:
مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ
وَلاَ نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ
|
Tidak akan rugi orang yang
istikharah, dan tidak akan menyesal orang yang musyawarah. (HR.
Aththabrani)
|
4.
Bermental Baja (Apatis)
Bagi
aktifis musyawarah tingkat pemula, mental baja atau sikap apatis, cuek bebek,
atau tidak peduli, merupakan sikap positif untuk membangun keberanian dan
mengusir jauh-jauh rasa minder, grogi atau demam forum, yang kerap menghantui mental
ketika dialog interaktif di tengah forum.
Di
tengah forum debat (musyawarah), sudah lumrah jika didapati kata-kata atau
statemen dari lawan debat yang menyudutkan atau mungkin terdengar melecehkan. Dalam
suasana seperti ini, jika peserta tidak memiliki kesiapan secara mental, akan terasa
pahit dan terdengar menyakitkan. Sehingga dalam musyawarah yang terjadi bukan
pembentukan karakter, malainkan pembunuhan karakter. Ini sangat berbahaya,
sebab disamping akan menimbulkan kebencian dan permusuhan, dalam tataran
tertentu, dapat menimbulkan trauma yang tidak menutup kemungkinan mengakibatkan
peserta menjadi anti musyawarah.
Maka
bagi seorang aktifis musyawarah harus memiliki mental baja yang tidak ambil
pusing dengan apapun dan bagaimanapun gaya bicara dan kata-kata lawan debat. Seorang
aktifis harus bisa tetap terfokus dengan masalah yang diperdebatkan, dan tak
perlu terpengaruh atau terpancing dengan kata-kata lawan debat yang tidak ilmiah
dan lebih bernada
gojlokan atau mengolok-ngolok. Dan tips untuk membantu dapat bersikap seperti
ini, balaslah setiap kata-kata lawan debat yang menyakitkan dengan seulas
senyuman. Dengan demikian, kita akan tetap berani mengekspresikan ide dan
pemikiran secara bebas tanpa beban rasa malu, minder, grogi ataupun sakit hati.
5.
Punya Selera Berbeda (Kontroversial)
Kiat
lain untuk merangsang sikap agresif dalam berdiskusi ialah: punya selera
berbeda, atau berani berpendapat kontroversial dan menentang pendapat sekuat
apapun. Selera seperti ini akan dapat membantu meningkatkan sikap kritis dan
ketajaman nalar.
Sikap
kontroversial demikian bukan dimaksudkan hanya untuk bermain-main dengan
politik ASU (Asal Suloyo), akan tetapi disamping untuk berlatih berpolemik
secara komunikatif, juga untuk menguji kekuatan kebenaran suatu pendapat agar
benar-benat meyakinkan. Sebab, kebenaran akan semakin jelas dan kuat
kebenarannya ketika tak terbantahkan oleh segala bentuk kritik dan kontroversi
yang menentangnya.
6.
Tak Kenal Kompromi
Sikap
tak kenal kompromi juga akan membangkitkan agresifitas berdiskusi. Sebab sikap
demikian akan memotifasi seseorang mempertahankan pendapatnya mati-matian. Sebagai
seorang aktifis musyawarah sejati (bertanggung jawab), sepanjang pendapatnya
masih ia yakini sebagai kebenaran, maka pantang baginya untuk menyerah begitu
saja. Kebenaran harus dipertahankan meski apapun resiko dan taruhannya. Rasulullah
saw. bersabda:
قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا
|
Katakanlah kebenaran itu, meskipun
terasa pahit. (HR. Ibn Hibban)
|
MENCIPTAKAN MUSYAWARAH BERKUALITAS
Di samping faktor agresifitas peserta dalam
berdialog, untuk menciptakan musyawarah menjadi berkualitas, bermutu dan
produktif, faktor lain yang juga sangat menentukan adalah kekompakan kerja sama
yang melibatkan tiga peran komponen musyawarah, yakni peran ra'is, peran moderator,
dan peran peserta musyawarah. Selain itu, persiapan secara matang sebelum
musyawarah, merupakan ruh kehidupan bermusyawah. Tanpa adanya kekompakan
masing-masing peran ini, dan tanpa adanya persiapan yang maksimal, agresifitas
peserta hanya akan menjadikan musyawarah terasa hambar tanpa kualitas dan
cenderung menjadi ajang debat kusir yang tidak memiliki nilai ilmiah.
1. Peran
Ra'is
Sebagai figur yang telah dipercaya
untuk memegang dan mempresentasikan materi musyawarah, seorang ra'is harus
memiliki sikap bertanggung jawab dan menjaga kepercayaan yang dimilikinya. Adalah
sangat tidak bertanggung jawab jika seorang ra'is tidak memiliki kesiapan yang
lebih maksimal dibanding peserta musyawarah lain. Sikap tanggung jawab seorang
ra'is ini bisa diwujudkan dalam bentuk:
Ü
Benar-benar siap untuk menyampaikan
atau mempresen-tasikan materi musyawarah;
Ü
Memahami materi secara detail dan
menyeluruh;
Ü
Mengerti poin-poin penting materi
yang perlu penekanan lebih dalam penyampaian;
Ü
Sanggup menyampaikan materi dengan
bahasa yang lugas, menarik dan mudah dimengerti peserta musyawarah;
Ü
Mampu memberikan
keterangan-keterangan suplementer (tambahan) yang berkaitan dengan materi,
sehingga bisa menginisiasi peserta untuk bertanya; dan
Ü
Mampu membuat kesimpulan sederhana
dari seluruh materi.
Apabila
tugas-tugas ini berhasil dilakukan dengan baik oleh seorang ra'is, maka
penampilannya akan menarik dan mampu memikat peserta musyawarah, sehingga
seluruh anggota dengan sendirinya akan mengikuti jalannya musyawarah dengan
penuh perhatian.
2. Peran
Moderator
Figur moderator memiliki peran
sangat fital dalam musyawarah. Dialah nahkoda diskusi yang akan mengendalikan
arah perdebatan untuk bisa dilabuhkan di dermaga kesimpulan akhir. Nahkoda yang
profesional harus bisa memilih mana arah yang tepat untuk diarunginya, dan mampu
membawa bahtera menuju dermaga dengan baik. Hal ini akan berbeda dengan nahkoda
yang tidak profesional. Ia akan terombang-ambing oleh ombak dan gelombang hingga
kahilangan arah.
Demikianlah, seorang moderator harus
memiliki kepiawian dalam memimpin jalannya diskusi. Ia harus mampu memahami
arah perdebatan dan bisa mengendalikan jalannya diskusi secara teratur dan sistematis,
serta bisa menggiring season i'tirâdl (sanggahan) dan i'tidladl
(dukungan) secara dramatis ke kesimpulan yang tepat dan representatif. Untuk
itu, idealnya seorang moderator harus memiliki beberapa kriteria berikut:
Ü Responsif
Agar musyawarah bisa berkualitas, moderator
harus mampu menangkap dan responsif dengan segala kemungkinan pendapat, argumentasi,
ide dan pemikiran peserta. Untuk itu, seorang moderator dituntut memahami dengan
baik materi dan pokok pembahasan yang akan didiskusikan.
Ü Moderat
Seorang moderator harus
bisa bersikap moderat, tengah, netral dan adil terhadap seluruh peserta
musyawarah, sehingga diskusi bisa mengalir alami sesuai pendapat, pemikiran dan
argumentasi peserta secara seimbang, tanpa unsur atau dibayangi intervensi
pemikiran moderator.
Ü Selektif
Moderator harus dapat memilah
secara selektif mana pendapat peserta yang relevan untuk didialogkan dan mana
pendapat yang tidak atau kurang relevan dengan pokok pembahasan, dan harus segera
dikotak. Di sini dibutuhkan sikap tegas dan bijaksana dari seorang moderator
agar diskusi berjalan dinamis dan tidak terjebak dalam hal-hal yang tidak
penting (i'râdl an almaqshûd).
Ü Obyektif
Dalam memutuskan mana
pendapat yang harus didialogkan dan mana yang harus dikotak, moderator harus
obyektif. Dalam arti, keputusan harus didasarkan pada substansi pendapat
peserta, bukan berdasarkan subyektifitas moderator.
Ü Komunikatif
Antara pendapat yang pro
dan yang kontra harus bisa dipilah oleh moderator untuk selanjutnya
didialogkan. Di sini dibutuhkan seorang moderator yang komunikatif agar dialog
antara peserta yang pro dengan peserta yang kontra bisa berjalan efektif. Dalam
hal ini, moderator perlu mendramatisir alur musyawarah menjadi season i'tirâdl
dan i'tidlâdl. Yakni season di mana antara pendapat yang pro dan
pendapat yang kontra saling dipertentangkan (i'tirâdl) untuk menguji
mana diantara kedua pendapat yang terbukti sebagai kebenaran. Kemudian,
dilanjutkan dengan season mencariakan pendapat-pendapat pendukung (i'tidlâdl)
untuk menguatkan.
Ü Representatif
Moderator harus bisa menarik
kesimpulan yang benar, utuh dan representatif dari alur perdebatkan, sehingga pendapat
dan pemikiran-pemikiran segar yang mencuat dalam forum tidak terabaikan dengan
sia-sia.
3. Peran
Peserta Musyawarah
Sebuah musyawarah bisa dinilai
berkualitas dan produktif apabila antar peserta terjadi dialog dan adu pendapat
yang argumentatif serta menghasilkan keputusan-keputusan yang segar. Dalam hal
seperti ini, dibutuhkan kerja sama yang pro-aktif dan antusiasme peserta. Di
samping itu, persiapan
maksimal sebelum musyawarah merupakan harga mati untuk memung-kinkan peserta
dapat berdiskusi secara argumentatif dan berkualitas. Bentuk persiapan ini
bisa dilakukan dengan:
Ü Memahami
materi dasar yang hendak dimusyawarahkan;
Ü Mencari
keterangan-keterangan tambahan dari sumber-sumber referensial yang lebih luas
(kitab-kitab sarah);
Ü Mengantisipasi
poin-poin yang potensial diperdebatkan, dengan mempersiapkan jawaban dan
argumentasinya;
Ü Menyiapkan
isykâl-isykâl yang berbobot untuk diangkat dalam musyawarah.
Ü Bersedia
menindaklanjuti masalah yang mauqûf dalam forum untuk dicarikan
pemecahannya, baik dengan mencari referensi atau bertanya kepada pihak yang
lebih senior.
PENUTUP
Adalah
fakta bahwa aktifitas musyawarah atau belajar dengan metode diskusi interaktif merupakan
metode belajar yang seru dan penuh tantangan, yang menuntut militansi dan
kreatisitas. Hanya orang-orang
yang memiliki nyali, selera tinggi dan himmah 'âliy untuk maju dan
berkembang yang dapat merasakan musyawarah sebagai aktifitas menarik dan
menyenangkan. Orang-orang seperti inilah yang memiliki peluang besar bisa
sukses dalam thalabul ilmi. Dan hampir bisa dipastikan, orang-orang yang
sukses dalam bidang keilmuan, memiliki track record sebagai aktifis
musyawarah. Dengan demikian, tidak berlebihan apabila dikatakan: jika ingin
sukses dalam thalabul ilmi, kuncinya adalah, MENJADI AKTIFIS
MUSYAWARAH YANG ISTIQAMAH.
Lebih
dari itu, musyawarah merupakan aktifitas yang sangat dianjurkan agama. Dalam
Alqur'an terdapat beberapa ayat yang mendorong umat bermusyawarah. Seperti
dalam surat Ali Imran 159:
وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ (dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu),
dalam surat
Asy-Syura 38: وَأَمْرُهُمْ
شُورَى بَيْنَهُمْ (sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka). Sebelum penciptaan nabi Adam as.,
Allah swt. pun terlebih dahulu bermusyawarah dengan para Malaikat, seperti yang
diabadikan dalam Alqur'an:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ
فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
|
Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Albaqarah: 30)
|
Dalam sebuah riwayat, Abu Hurairah
mengatakan:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مُشَاوَرَةً لِأَصْحَابِهِ
مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
|
Aku tidak melihat
seorang pun yang bermusyawarah dengan para sahabatnya yang lebih intens dibanding
Rasulullah saw.
|
Untuk menjadi aktifis musyawarah
yang benar-benar sejati, seorang aktifis harus bisa menjalaninya dengan sepenuh
hati. Bahkan musyawarah harus dijadikan sebagaimana layaknya hobi yang digemari.
Menjalani musyawarah dengan setengah hati, atau dengan perasaan penuh beban,
musyawarah tidak akan memberi manfaat berarti seperti yang dicita-citakan. Dalam
sebuah kalam hikmah disebutkan:
الْعِلْمُ لَا يُعْطِيْكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ
|
Ilmu tidak akan sudi
memberikan sebagian dirinya kepadamu hingga kamu bersedia mempersebahkan
dirimu sepenuhnya untuk ilmu.
|
Seorang aktifis musyawarah sejati
harus menjalani musyawarah dengan hati
yang tulus dan ikhlas karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan yang terhenti
pada kepentingan-kepentingan duniawi. Di samping itu, seorang aktifis
musyawarah sejati juga harus menjaga kesucian hati dari penyakit-penyakit yang
bisa menjadi hijab futûhnya hati, seperti riya', sum'ah, takabbur,
ujub, hasad, hiqdu, dll. Keikhlasan dan kesucian hati
seperti ini penting menjadi adab batin dalam bermusyawarah, agar ilmu yang
diperolehnya juga ilmu yang sejati. Yakni ilmu yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah, bukan ilmu yang justru menjauhkan diri dari Allah. Hujjatul
Islam, Imam Alghazali mengatakan:
تَعَلَّمْنَا الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ
فَأَبَى أَنْ يَكُوْنَ الْعِلْمُ إِلَّا لِلهِ
|
Kami menuntut ilmu
bukan karena Allah, lalu ilmu pun menolak (kami) kecuali hanya karena Allah.
|
Demikianlah
makalah yang bisa penulis persembahkan. Semoga bisa menginisiasi para aktifis
untuk lebih bergairah dalam bermusyawarah dan mendapatkan ilmu nafi'
yang diridlai Gusti Allah. Amien. Wa Allahu A'lam.
0 komentar:
Posting Komentar