Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in
hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN.
Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk
hidup.Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi: Khalaqtanii min
naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari
api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara
mutlak dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam
kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan
kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan: Sesungguhnya
SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu
sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi
saw., yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa
ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik
di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru
yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh
Nabi saw. dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan
BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat
Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta
pembagiannya pada juz, ruku`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan
sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai
berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan:
SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang
contohnya :
1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau
domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya
karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah
fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya
hanya karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat
diidentifikasi sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk
ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang
sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya:
- Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara
berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di
Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh
Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH
karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagorikan sebagai
BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus
dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati
tuntunannya secara langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini
menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih
adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun
tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain
adanya ayat Alquran-Hadits yang memerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud),
dan adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.
Tetapi mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan
setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan
BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun
demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH
HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa
untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah, dll,
termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh
Nabi saw.
namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara
ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi
kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini
jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca
kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada
Nabi saw. yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang
disabdakan oleh Nabi saw. : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah.
Yang jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi
jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam
Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan
acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah
yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat
sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi
kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan
majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau
saw. selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda beliau saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran
famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran, barangsiapa
menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan
Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya:
Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi
para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat
berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah
mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang mengikat,
selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel
akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh dari standar kebenaran
syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya)
pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan
Hadits Nabi saw. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan
menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya Hadits yang
diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi
nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai
BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidak pernah
dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran
Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang
benar.
____
Dikutip dr buku Dalil amaliah warga NU.
tag : aswaja
____
Dikutip dr buku Dalil amaliah warga NU.
tag : aswaja
0 komentar:
Posting Komentar