Islam
berdiri diatas dasar ilmu dan ma’rifah, maka tidak selayaknya seorang muslim
jauh dari cahaya ilmu bahkan seharusnya menggali dan mencarinya dari warisan
para Nabi yang telah dilimpahkan pada Ulama yang telah di sahkan sebagai
pewaris dan pengganti para Nabi.
Menuntut
ilmu adalah amal yang paling tinggi dan utama
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sebab manfaat ilmu itu menyeluruh
untuk umat, agama dan bangsa. Ilmu juga merupakan azas pondasi pengabdian hamba
kepada Sang Pencipta, hingga di angkat Ahli Ilmu diatas yang lain dengan tujuh ratus derajat:
عن
ابن عباس رضي الله عنه :
يَرْفَعِ
اللهُ العُلَمَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى سَائِرِ الْمُؤْمِنِينَ بِسَبْعِمِائَةِ
دَرَجَةٍ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ مَسِيرَةُ خَمْسِمِائَةٍ عَامًا.
Dari
Ibn Abas Ra.:
“Allah Swt.
akan mengangkat orang-orang
berilmu di hari kiamat diatas orang-orang mukmin yang
lain dengan tujuh ratus derajat, yang jarak antar dua derajat mencapai
perjalanan lima ratus tahun”.
Ilmu
merupakan sumber segala kebajikan dan sumber kebahagiaan dunia akhirat,
sebaliknya kebodohan adalah sumber segala kerusakan dan kesengsaraan dunia akhirat. Dengan demikian, manusia harus sadar bahwa musuh utama yang mengancam
masa depan dirinya, bangsa
dan agama adalah “KEBODOHAN”.
Ditegaskan
oleh Sayyidina Ali ibn Abi Tholib Ra. :
لاَ
عَدُوَّ أَعْدَى مِنَ الْجَهْلِ وَالْمَرْءُ عَدُوُّ مَاجَهِلَ
“Tiada musuh yang
paling berbahaya dari pada kebodohan dan setiap orang musuhnya apa yang tidak
dia ketahui”
Musuh
tidak bisa dibiarkan, tapi
musuh harus diperangi. Jika musuh besar manusia
adalah kebodohannya, maka
jihad yang paling besar adalah memerangi kebodohan. Dalam berperang tentu
seorang pejuang harus memiliki jiwa militan yang gigih dan tidak gentar
ketika berlaga dimedan perang demi mencapai kemenangan, terlebih pejuang ilmu
yang kemenangannya adalah pilar kesuksesan dunia akhirat. Untuk merealisasikan
tugas berat itu, harus
banyak memperdalam ilmu dengan bantuan peran serta guru yang bertugas sebagai
pembimbing selayaknya komandan dalam perang dan juga menjalin banyak mitra
berjuang untuk membangun kebersamaan.
Bagaimana
caranya? Tidak lain tentu harus dengan
menciptakan forum belajar yang melibatkan banyak pemikiran dengan jalan “MUSYAWAROH”,
sebab musyawaroh adalah kegiatan yang bersifat kolektif yang didalamnya
mesti ada:
1)
Partisipasi
unsur-unsur yang terlibat seperti guru
& lembaga kepengurusan
2)
Persiapan
yang memadai dengan banyak bertanya, privat, muroja’ah, muthola’ah,
mencatat ilmu
3)
Dialog
yang hidup dalam membahas masalah
4)
Tinjauan
pemahaman dari berbagai segi dan analisa yang tajam (tahqiq) terhadap
materi.
2.
Keistimewaan
Musyawaroh
Allah Swt. memerintahkan kepada pemimpin alam
semesta, yakni Baginda Nabi Muhammad Saw. untuk melakukan musyawaroh (وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ), walaupun pada hakikatnya Nabi Saw. tidak memerlukannya karena
Allah Swt. telah menjamin kebenaran petunjuknya. Namun perintah itu mengandung
hikmah, diantaranya
:
a.
Mengingatkan
keutamaan musyawaroh
b.
Memberikan
teladan kepada ummat
c.
Membangun
komunikasi yang bermanfaat.
Begitu
tingginya
keutamaan musyawaroh,
sehingga Rosulullah Saw. diharuskan menjalankannya. Padahal semua ilmu baik
yang dhohir maupun yang bathin bersumber dari Beliau. Berikut ini diantara
keutamaan musyawaroh adalah:
1.
Mendapatkan petunjuk yang paling tepat.
Nabi bersabda:
قال
صلى الله عليه وسلم : مَا تَشَاوَرَ قَوْمٌ إِلَّا هَدَاهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
لِأَرْشَدَ أُمُورِهِمْ
“Tiada
suatu kaum saling bermusyawaroh kecuali Allah memberikan petunjuk yang paling
tepat bagi urusan mereka”
2.
Menghindari penyesalan dan celaan.
Rosululloh bersabda:
قال
صلى الله عليه وسلم : المُشَاوَرَةُ حِصْنٌ مِنَ النَّدَامَةِ وَأَمَانٌ مِنَ الْمَلَامَةِ
“Musyawarah
benteng penyesalan dan pelindung dari celaan”
3.
Membuka pintu Rahmat dan Berkah
قال عمر بن عبد العزيز:
أَنَّ الْمُشَاوَرَةَ وَالْمُنَاظَرَةَ بَابَا الرَّحْمَةِ
وَمِفْتَاحاَ الْبَرَكَةِ لَايَضِلُّ مَعَهُمَا وَلَايَفْقُدُ مَعَهُمَاحَزَمٌ
“Sesungguhnya
musyawaroh dan saling tukar pikiran itu keduanya adalah pintu rahmat dan kunci berkah yang tidak akan tersesat dengan
keduanya dan tidak akan kehilangan pegangan”
4.
Menyempurnakan pemikiran
قال
بعض الحكماء: نِصْفُ رَأْيِكَ مَعَ أَخِيْكَ فَشَاوِرْهُ لِيَكْمَلَ لَكَ الرَّأْيُ
“Separo pemikiranmu beserta saudaramu, maka salinglah bermusyawaroh supaya sempurna
pemikiranmu”
5.
Menjaga ilmu tidak lupa dam menambah wawasan
قال
بعض الحكماء: مَنْ أَكْثَرَ الْمُذَاكَرَةَ بِالْعِلْمِ لَمْ يَنْسَ مَا عَلِمَ وَاسْتَفَادَ
مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Barang
siapa sering berdiskusi tentang ilmu, maka tidak akan lupa apa yang ia ketahui dan bertambah apa yang tidak diketahui”
Dan masih banyak lagi keistimewaan
musyawaroh. Termasuk diantaranya adalah menguatkan hafalan, kefahaman,
ketelitian, ketajaman berfikir. Sehingga sebagian Ulama mengatakan :
مُذَاكَرَةُ حَاذِقٍ فِي
الْفَنِّ أَنْفَعُ مِنَ الْمُطَالَعَةِ وَالْحِفْظِ سَاعَاتٍ بَلْ أَيَّاماً
“Berdiskusi dengan orang
yang yang jeli/pandai lebih bermanfaat daripada muthola’ah dan menghafal beberapa jam bahkan beberapa hari”.
3. Membangun jihad Dalam musyawaroh
Didalam berjihad
tentu membutuhkan kesiapan, maka dalam membahas ilmu terlebih dalam forum
musyawaroh tentu juga para pesertanya harus mempunyai persiapan yang matang,
sehingga ketika berada dalam ruangan tidak pasif, bengong, mengobrol sendiri
atau bahkan tidur!. Lalu apa saja yang harus di
persiapkan? Berikut penjelasannya :
1.
JIWA MILITAN
Aktifis
musyawaroh harus mempunyai semangat juang yang besar selayaknya seorang patriot
sejati yang tak pernah patah semangat dan gentar menghadapi rintangan.
Seorang
pejuang ilmu selain harus mempunyai strategi yang tepat, namun belum bisa
disebut militan kecuali jika telah
memenuhi dua syarat. Sebab, sehebat dan secanggih apapun strategi dan sistem yang
mengatur, tapi
jika tidak disertai dengan keduanya, maka hanya akan baik dalam laporan formal
belaka namun dalam kenyataan di lapangan belum ideal, tidak bermutu dan lemah.
Syarat-syarat tersebut adalah:
Ø Syarat Pertama : همة عالية {cita-cita/ idealisme yang tinggi}
Himmah adalah sebuah
komitmen yang teguh dengan segala kemampuan untuk meraih kesempurnaan cita-cita. Layaknya seekor burung terbang dengan kedua sayapnya,
maka manusia terbang dengan cita-citanya guna menembus cakrawala di ufuk
angkasa yang paling tinggi, bebas dari semua ikatan yang membelenggu jasadnya. Sebagaimana
syair dibawah ini:
عَلَى قَدْرِ أَهْلِ الْعَزْمِ تَأْتِي الْعَزَائِمُ ¯
وَتَأْتِي عَلَى قَدْرِ
الْكِرَامِ الْمَكَارِمُ
“Sesuai kadar komitmen orang yang berencana, datangnya semua
kesuksesan dan datangnya semua kemulyaan sesuai dengan kadar kemulyaan”
Ø Syarat Kedua :الجد { ketekunan}
Imam
Syafi’i Ra. berkata:
وَالْجِدُّ يُدْنِي كُلَّ أَمْرٍ شَاسِعٍ ¯
وَالْجِدُّ يَفْتَحُ كُلَّ
بَابٍ مُغْلَقٍ
“Ketekunan itu dapat mendekatkan sesuatu yang jauh, juga dapat membuka setiap pintu yang tertutup”
Syeikh Abu Fadhol Badi’u Zaman Ra. : ”Sesungguhnya ilmu sangat susah di perhitungkan, tidak
bisa dibidik dengan panah, tidak bisa dilihat dalam tidur, tidak bisa diwaris
dari keluarga. Sesungguhnya ilmu
laksana pohon yang tidak dapat lestari kecuali dengan ditanam, tidak bisa
ditanam kecuali didalam hati, tidak bisa disiram kecuali dengan belajar”.
Setiap
manusia akan memiliki semangat hidup yang sempurna jika tertanam dalam jiwanya
cita-cita (obsesi) yang
tinggi dan usaha yang tekun. Ia tidak akan merasa
cukup hanya meraih yang biasa-biasa saja dan tidak akan puas kecuali dengan
yang tinggi dan luar biasa. Mottonya
adalah :
لَا يَرْضَى بِالْيَسِيرِ مَعَ إِمْكَانِ الْكَثِيرِ
“Tidak akan puas dengan yang sedikit sementara mampu meraih yang
banyak”
v
Rumus kesuksesan adalah:
1. رغبة (gandrung) + 2. همة (kemauan
kuat) + 3. جهد (usaha maksimal) + 4. Istiqomah = SUKSES.
2.
MEMPERSIAPKAN KEMAMPUAN
Sebelum berangkat musyawaroh seorang aktifis harus
mempersiapkan semua bekal yang diperlukan sebagaimana orang yang akan berangkat maju perang atau bepergian. Bekal persiapan itu ada tiga macam, yaitu:
a. Menyiapkan Modal (ألإستعداد ماديا}
1.Menguasai materi, faham dan bahkan hafal
2.Banyak muthola’ah dan muroja’ah
3.Banyak mencatat ilmu dengan membuat talkhis
{ringkasan ilmu) atau ta’liq (kutipan ibarot penting)
4.Menyiapkan pertanyaan dan pembahasan bermutu
5.Banyak prifat (berguru pada siapa saja
secara exclusife}
6.Banyak bertanya & diskusi
7.Jadwal waktu belajar yang teratur dan istiqomah
8.Memiliki kitab-kitab rujukan yang diperlukan.
b. Menyiapkan Mental (الإستعداد ذاتيا}
1.Berani berpendapat
2.Berani mempertahankan pendapat
3.Berani menanggapi/mengkritisi pendapat
4.Tenang dan tajam berpikir
5.Tanggap dan pasti dalam berpendapat dan menolak pendapat
6.Menguasai emosi dengan baik
7.Mengikuti perkembangan pembahasan dan tidak menonton
8.Bahasa yang komunikatif dan mimik yang baik.
c. Menyiapkan Rohani (الإستعداد روحانيا)
1. Niat yang terpuji
2. Senantiasa menjalani kewajiban dan meninggalkan maksiat
3. Adab yang terpuji
4. Mengamalkan ilmu
5. Berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
6. Tawakkal kepada Allah swt.
3.
PENATAAN MUSYAWAROH YANG SOLID
Setiap kelompok umat islam harus memiliki kesadaran untuk
membangun suatu organisasi dengan kerangka aturan yang sistematik yang mengarah
pada ikatan kebersamaan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan (Ta’awun
ala birri wattaqwa). Tanpa organisasi, maka sebuah kebenaran akan mudah terkikis dengan
penyimpangan yang teroganisir.
الْحَقُّ بِلَا نِظَامٍ
يَغْلِبُهُ الْبَاطِلُ بِالنِّظَامِ
“Kebenaran yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kebathilan yang terorganisir”
Saat ini banyak sekali faktor-faktor yang melenakan para
pelajar santri, jauh dari ilmu dan
belajar. Aktifitas sebagai pengurus jam’iyah
& team, seringkali dijadikan sebagai alasan untuk meninggalkan
musyawaroh. Gangguan internet, facebook, twitter yang mudah di akses melalui handphone genggam semakin membuat malas dan tidak fokus belajar. Bacaan umum, majalah,
koran juga sangat mengurangi daya minat untuk membaca kitab kuning apa lagi
menguasai. Banyaknya teman ngobrol, karaoke, jalan-jalan membuat
belajar hanya sebatas sampingan dan bukan tujuan utama. Selebihnya, waktu banyak dihabiskan
dengan makan dan tidur
saja.
Maka dari itu, musyawaroh diharapkan mampu membentengi gejala-gejala
diatas dengan kebersamaan dan partisipasi dari semua pihak untuk membentuk
musyawaroh yang teratur. Pihak-pihak tersebut
adalah sebagai berikut:
Ø
Pimpinan
Musyawaroh (Rois)
Rois musyawaroh bisa dibagi menjadi dua, yaitu: Rois pembaca dan Moderator.
Rois dan Moderator adalah orang yang
paling berperan penting menentukan musyawaroh. Karena dari dia
musyawaroh dapat dikendalikan
hidup dan tidaknya. Cepat dan lambannya
tempo musyawaroh, sangat
dipengaruhi oleh kecerdikaannya. Dia harus bisa mengolah bagaimana suasana musyawaroh bisa
hidup, komunikatif dalam penyampaian. Maka, larangan keras bagi rois
adalah:
a. Tidak ada persiapan
b. Tidak menguasai materi
c. Menonton dalam memimpin
d. Tidak segera menyimpulkan jalannya perdebatan
ØMembentuk Banyak Kelompok
Untuk memberdayakan potensi-potensi para aktifis
musyawaroh, harus
ada pemerataan tugas dalam meroisi supaya masing-masing merasa ada tanggung
jawab dan tidak mengandalkan satu rois saja.
Cara yang paling efektif adalah musyawaroh harus dipecah
menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari ketua dan aggota. Idealnya tidak lebih
dari lima orang (sesuai jadwal musyawaroh seminggu,
yakni: lima kali selain waktu tamrin). Ketua kelompok harus selalu
siap dan bisa mengatur anggotanya dalam meroisi. Formasi musyawaroh ini dalam jangka kedepan
akan banyak menelurkan
rois-rois yang berpotensi dan proses regenerasi akan mudah berjalan. Untuk itu, sejak awal metode ini harus segera disosialisasikan.
Ø Anggota
Jarang dijumpai seorang pelajar santri yang teguh dan
tekun belajar. Bahkan dalam majelis musyawaroh banyak didominasi para pelajar yang hanya menonton, sangat pasif, mengobrol
sendiri dan sangat bergantung
pada pengawasan dan
ta’zir. Faktor yang banyak melatar belakangi hal ini adalah minimnya Adab
dan Etika dalam mencari Ilmu, terbiasa hidup bebas tanpa ada aturan dan
kedisiplinan, tidak ada rasa hormat dengan orang yang berilmu, membuat diri
sendiri rela tertinggal dengan temannya.
Seorang santri
tulen seharusnya tidak gengsi menimba ilmu dari siapa saja, bahkan dari temannya sendiri. Maka, sifat yang harus
dimiliki adalah rendah hati (tawadhu’). Dikatakan dalam
sebuah maqolah:
الْمُتَوَاضِعُ مِنْ طُلَّابِ
الْعِلْمِ أَكْثَرُهُمْ عِلْمًا
“Orang yang rendah hati dari para pelajar ilmu adalah orang yang
paling banyak ilmunya”
Dengan demikian, santri harus banyak prifat dan berguru pada siapa saja,
seperti ketika musyawaroh tidak boleh tertinggal dan diam tapi harus banyak
bertanya tentang apa yang tidak difaham. Basyar ibn Burod berkata:
دَوَامُ الْعَمَى طُولُ السُّكُوتِ عَلَى الْجَهْلِ
|
¯
|
شِفَاءُ الْعَمَى طُولُ السُّؤَالِ وَإِنَّمَا
|
دُعِيتَ أَخَا عَقْلٍ لِتَبْحَثَ بِالْعَقْلِ
|
¯
|
فَكُنْ سَائِلاً عَمَّا
عَنَاكَ فَإِنَّمَا
|
“Obat mujarab buta (ilmu)
adalah banyak
bertanya, sesungguhnya
berlarut-larutnya kebutaan itu karena terlalu betah diam dalam kebodohan”.
“Maka bertanyalah tentang apa yang menyulitkanmu,
sesungguhnya engkau di sebut teman berakal supaya kau gunakan akalmu untuk membahas”.
Ø Obat Malas
Musyawaroh
Banyak sekali
faktor-faktor yang mendasari orang malas untuk melakukan musyawaroh, diantaranya:
v Faktor usia.
Mereka merasa sudah tua dan tidak pantas lagi ikut berkecimpung
dalam musyawaroh. Obatnya harus meneguhkan prinsip hidup sebagiamana yang dikatakan ulama
dengan motto :
لَأَنْ يَكُونَ شَيْخًا مُتَعَلِّمًا
أَوْلَى مِنْ أَنْ يَكُونَ شَيْخًا جَاهِلًا
“Sungguh menjadi orang tua dalam keadaan belajar lebih
utama dari pada menjadi orang tua dalam keadaan bodoh”.
لَأَنْ تَمُوتَ
طَالِبًا لِلْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَعِيشَ قَانِعًا بِالْجَهْلِ
“Sungguh engkau mati dalam keadaan mencari ilmu itu lebih
baik dari pada hidup dalam keadaan puas sebagai orang yang bodoh”.
v Faktor takut, jatuh gengsi apabila
ia nanti
dianggap masih butuh pendapat orang
lain. Obatnya adalah meluruskan niat. Musyawaroh
bukan untuk saling menjatuhkan gengsi, tapi untuk mencari faidah dan
menghindari kekeliruan.
v Faktor pikiran
tumpul, bebal, susah memahami.
Obatnya adalah sabar
dan bertahap sedikit demi sedikit, dimulai dari kitab yang kecil dahulu
(yang bisa dijangkau). Dan sabar jika
harus rela mengorbankan hobi, nyantai, hura-hura dan harus
besar cita-citanya.
Rosulullah Saw.
bersabda:
لَاتَنَالُونَ مَا تُحِبُّونَ إِلَّا
بِالصَّبْرِ عَلَى مَاتَكْرَهُونَ وَلَاتَبْلُغُونَ مَاتُهَوِّنُ إِلَّا بِتَرْكِ
مَاتَشْتَهُونَ
“Kalian tidak
akan memperoleh dambaan kalian kecuali dengan bersabar terhadap apa yang tidak
kalian sukai dan kalian tidak akan mencapai apa yang kalian idam-idamkan
kecuali dengan meniggalkan hobi kesenangan kalian”.
0 komentar:
Posting Komentar